TOKOH WAYANG
“ GATOTKACA “
Gatotkaca (bahasa Sanskerta: Ghattotkacha) adalah seorang tokoh dalam
wiracarita Mahabharata yang dikenal sebagai putra Bimasena atau Wrekodara dari
keluarga Pandawa. Ibunya yang bernama Hidimbi (Harimbi) berasal dari bangsa
rakshasa, sehingga ia pun dikisahkan memiliki kekuatan luar biasa. Dalam perang
besar di Kurukshetra ia banyak menewaskan sekutu Korawa sebelum akhirnya gugur
di tangan Karna.
Di Indonesia, Gatotkaca menjadi
tokoh pewayangan yang sangat populer. Misalnya dalam pewayangan Jawa ia dikenal
dengan ejaan Gatutkaca (bahasa Jawa: Gathutkaca). Kesaktiannya dikisahkan luar
biasa, antara lain mampu terbang di angkasa tanpa menggunakan sayap, serta
terkenal dengan julukan “otot kawat tulang besi”.
Asal-Usul dan Arti Nama
Menurut versi Mahabharata, Gatotkaca adalah putra Bimasena
dari keluaga Pandawa yang lahir dari seorang rakshasa perempuan bernama
Hidimbi. Hidimbi sendiri merupakan raksasi penguasa sebuah hutan bersama
kakaknya yang bernama Hidimba.
Dalam pewayangan Jawa, ibu Gatotkaca
lebih terkenal dengan sebutan Arimbi. Menurut versi ini, Arimbi bukan sekadar
penghuni hutan biasa, melainkan putri dari Kerajaan Pringgadani, negeri bangsa
rakshasa.
Dalam bahasa Sanskerta, nama
Ghatotkacha secara harfiah bermakna “memiliki kepala seperti kendi”. Nama ini terdiri
dari dua kata, yaitu gha?(tt)am yang berarti “buli-buli” atau “kendi”, dan
utkacha yang berarti “kepala”. Nama ini diberikan kepadanya karena sewaktu
lahir kepalanya konon mirip dengan buli-buli atau kendi.
Kelahiran
Kisah kelahiran Gatotkca dikisahkan
secara tersendiri dalam pewayangan Jawa. Namanya sewaktu masih bayi adalah
Jabang Tetuka. Sampai usia satu tahun tali pusarnya belum bisa dipotong walau
menggunakan senjata apa pun. Arjuna (adik Bimasena) pergi bertapa untuk
mendapatkan petunjuk dewa demi menolong nasib keponakannya itu. Namun pada saat
yang sama Karna, panglima Kerajaan Hastina juga sedang bertapa mencari senjata
pusaka.
Karena wajah keduanya mirip, Batara
Narada selaku utusan kahyangan memberikan senjata Kontawijaya kepada Karna,
bukan kepada Arjuna. Setelah menyadari kesalahannya, Narada pun menemui Arjuna
yang sebenarnya. Arjuna lalu mengejar Karna untuk merebut senjata Konta.
Pertarungan pun terjadi. Karna
berhasil meloloskan diri membawa senjata Konta, sedangkan Arjuna hanya berhasil
merebut sarung pembungkus pusaka tersebut. Namun sarung pusaka Konta terbuat
dari Kayu Mastaba yang ternyata bisa digunakan untuk memotong tali pusar
Tetuka.
Akan tetapi keajaiban terjadi. Kayu
Mastaba musnah dan bersatu dalam perut Tetuka. Kresna yang ikut serta
menyaksikannya berpendapat bahwa pengaruh kayu Mastaba akan menambah kekuatan
bayi Tetuka. Namun ia juga meramalkan bahwa kelak Tetuka akan tewas di tangan
pemilik senjata Konta.
Menjadi Jago Dewa
Versi pewayangan Jawa melanjutkan,
Tetuka kemudian dipinjam Narada untuk dibawa ke kahyangan yang saat itu sedang
diserang musuh bernama Patih Sekipu dari Kerajaan Trabelasuket. Ia diutus
rajanya yang bernama Kalapracona untuk melamar bidadari bernama Batari Supraba.
Bayi Tetuka dihadapkan sebagai lawan Sekipu. Anehnya, semakin dihajar bukannya
mati, Tetuka justru semakin kuat.
Karena malu, Sekipu mengembalikan
Tetuka kepada Narada untuk dibesarkan saat itu juga. Narada kemudian
menceburkan tubuh Tetuka ke dalam kawah Candradimuka, di Gunung Jamurdipa. Para
dewa kemudian melemparkan berbagai jenis senjata pusaka ke dalam kawah.
Beberapa saat kemudian, Tetuka muncul ke permukaan sebagai seorang laki-laki
dewasa. Segala jenis pusaka para dewa telah melebur dan bersatu ke dalam
dirinya.
Tetuka kemudian bertarung melawan
Sekipu dan berhasil membunuhnya menggunakan gigitan taringnya. Kresna dan para
Pandawa saat itu datang menyusul ke kahyangan. Kresna kemudian memotong taring
Tetuka dan menyuruhnya berhenti menggunakan sifat-sifat kaum raksasa.
Batara Guru raja kahyangan
menghadiahkan seperangkat pakaian pusaka, yaitu Caping Basunanda, Kotang
Antrakusuma, dan Terompah Padakacarma untuk dipakai Tetuka, yang sejak saat itu
diganti namanya menjadi Gatotkaca. Dengan mengenakan pakaian pusaka tersebut,
Gatotkaca mampu terbang secepat kilat menuju Kerajaan Trabelasuket dan membunuh
Kalapracona.
Perkawinan
Dalam versi Mahabharata, Gatotkaca menikah dengan seorang
wanita bernama Ahilawati. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernmama
Barbarika. Baik Gatotkaca ataupun Barbarika sama-sama gugur dalam perang besar
di Kurukshetra, namun di pihak yang berbeda.
Dalam versi pewayangan Jawa,
Gatotkaca menikah dengan sepupunya, yaitu Pregiwa putri Arjuna. Ia berhasil
menikahi Pregiwa setelah melalui perjuangan berat, yaitu menyingkirkan
saingannya, bernama Laksmana Mandrakumara putra Duryudana dari keluarga Korawa.
Dari perkawinan Gatotkaca dengan
Pregiwa lahir seorang putra bernama Sasikirana. Ia menjadi panglima perang
Kerajaan Hastina pada masa pemerintahan Parikesit, putra Abimanyu atau cucu
Arjuna.
Versi lain mengisahkan, Gatotkaca
memiliki dua orang istri lagi selain Pregiwa, yaitu Suryawati dan Sumpaniwati.
Dari keduanya masing-masing lahir Suryakaca dan Jayasumpena.
Menjadi Raja Pringgadani
Gatotkaca versi Jawa adalah manusia
setengah raksasa, namun bukan raksasa hutan. Ibunya adalah Arimbi putri Prabu
Tremboko dari Kerajaan Pringgadani. Tremboko tewas di tangan Pandu ayah para
Pandawa akibat adu domba yang dilancarkan Sangkuni. Ia kemudian digantikan oleh
anak sulungnya yang bernama Arimba.
Arimba sendiri akhirnya tewas di
tangan Bimasena pada saat para Pandawa membangun Kerajaan Amarta. Takhta
Pringgadani kemudian dipegang oleh Arimbi yang telah diperistri Bima.
Rencananya takhta kelak akan diserahkan kepada putra mereka setelah dewasa.
Arimbi memiliki lima orang adik
bernama Brajadenta, Brajamusti, Brajalamadan, Brajawikalpa, dan Kalabendana.
Brajadenta diangkat sebagai patih dan diberi tempat tinggal di Kasatrian
Glagahtinunu. Sangkuni dari Kerajaan Hastina datang menghasut Brajadenta bahwa
takhta Pringgadani seharusnya menjadi miliknya bukan milik Gatotkaca.
Akibat hasutan tersebut, Brajadenta
pun memberontak hendak merebut takhta dari tangan Gatotkaca yang baru saja
dilantik sebagai raja. Brajamusti yang memihak Gatotkaca bertarung menghadapi
kakaknya itu. Kedua raksasa kembar tersebut pun tewas bersama. Roh keduanya
kemudian menyusup masing-masing ke dalam telapak tangan Gatotkaca kiri dan
kanan, sehingga manambah kesaktian keponakan mereka tersebut.
Setelah peristiwa itu Gatotkaca
mengangkat Brajalamadan sebagai patih baru, bergelar Patih Prabakiswa.
Kematian Versi Mahabharata
Kematian Gatotkaca terdapat dalam
buku ketujuh Mahabharata yang berjudul Dronaparwa, pada bagian Ghattotkacabadhaparwa.
Ia dikisahkan gugur dalam perang di Kurukshetra atau Baratayuda pada malam hari
ke-14. Perang besar tersebut adalah perang saudara antara keluarga Pandawa
melawan Korawa, di mana Gatotkaca tentu saja berada di pihak Pandawa.
Versi Mahabharata mengisahkan,
Gatotkaca sebagai seorang raksasa memiliki kekuatan luar biasa terutama pada
malam hari. Setelah kematian Jayadrata di tangan Arjuna, pertempuran seharusnya
dihentikan untuk sementara karena senja telah tiba. Namun Gatotkaca menghadang
pasukan Korawa kembali ke perkemahan mereka.
Pertempuran pun berlanjut. Semakin
malam kesaktian Gatotkaca semakin meningkat. Prajurit Korawa semakin berkurang
jumlahnya karena banyak yang mati di tangannya. Seorang sekutu Korawa dari
bangsa rakshasa bernama Alambusa maju menghadapinya. Gatotkaca menghajarnya
dengan kejam karena Alambusa telah membunuh sepupunya, yaitu Irawan putra
Arjuna pada pertempuran hari kedelapan. Tubuh Alambusa ditangkap dan dibawa
terbang tinggi, kemudian dibanting ke tanah sampai hancur berantakan.
Duryodana pemimpin Korawa merasa
ngeri melihat keganasan Gatotkaca. Ia memaksa Karna menggunakan senjata pusaka
pemberian Dewa Indra yang bernama Shakti untuk membunuh rakshasa itu. Semula
Karna menolak karena pusaka tersebut hanya bisa digunakan sekali saja dan akan
dipergunakannya untuk membunuh Arjuna. Namun karena terus didesak, Karna
terpaksa melemparkan pusakanya menembus dada Gatotkaca.
Menyadari ajalnya sudah dekat,
Gatotkaca masih sempat berpikir bagaimana caranya untuk membunuh prajurit Kurawa
dalam jumlah besar. Maka Gatotkaca pun memperbesar ukuran tubuhnya sampai
ukuran maksimal dan kemudian roboh menimpa ribuan prajurit Korawa. Pandawa
sangat terpukul dengan gugurnya Gatotkaca.
Dalam barisan Pandawa hanya Kresna
yang tersenyum melihat kematian Gatotkaca. Ia gembira karena Karna telah
kehilangan pusaka andalannya sehingga nyawa Arjuna dapat dikatakan relatif
aman.
Kematian Versi Jawa
Perang di Kurukshetra dalam pewayangan Jawa biasa disebut
dengan nama Baratayuda. Kisahnya diadaptasi dan dikembangkan dari naskah
Kakawin Bharatayuddha yang ditulis tahun 1157 pada zaman Kerajaan Kadiri.
Versi pewayangan mengisahkan,
Gatotkaca sangat akrab dengan sepupunya yang bernama Abimanyu putra Arjuna.
Suatu hari Abimanyu menikah dengan Utari putri Kerajaan Wirata, di mana ia
mengaku masih perjaka. Padahal saat itu Abimanyu telah menikah dengan
Sitisundari putri Kresna.
Sitisundari yang dititipkan di
istana Gatotkaca mendengar suaminya telah menikah lagi. Paman Gatotkaca yang
bernama Kalabendana datang menemui Abimanyu untuk mengajaknya pulang.
Kalabendana adalah adik bungsu Arimbi yang berwujud raksasa bulat kerdil tapi
berhati polos dan mulia. Hal itu membuat Utari merasa cemburu. Abimanyu
terpaksa bersumpah jika benar dirinya telah beristri selain Utari, maka kelak
ia akan mati dikeroyok musuh.
Kalabendana kemudian menemui
Gatotkaca untuk melaporkan sikap Abimanyu. Namun Gatotkaca justru memarahi
Kalabendana yang dianggapnya lancang mencampuri urusan rumah tangga sepupunya
itu. Karena terlalu emosi, Gatotkaca sampai memukul kepala Kalabendana. Mekipun
perbuatan tersebut dilakukan tanpa sengaja, namun pamannya itu tewas seketika.
Ketika perang Baratayuda meletus,
Abimanyu benar-benar tewas dikeroyok para Korawa pada hari ke-13. Esoknya pada
hari ke-14 Arjuna berhasil membalas kematian putranya itu dengan cara memenggal
kepala Jayadrata.
Duryudana sangat sedih atas kematian
Jayadrata, adik iparnya tersebut. Ia memaksa Karna menyerang perkemahan Pandawa
malam itu juga. Karna pun terpaksa berangkat meskipun hal itu melanggar
peraturan perang.
Mendengar para Korawa melancarkan
serangan malam, pihak Pandawa pun mengirim Gatotkaca untuk menghadang.
Gatotkaca sengaja dipilih kaarena Kotang Antrakusuma yang ia pakai mampu
memancarkan cahaya terang benderang.
Pertempuran malam itu berlangsung
mengerikan. Gatotkaca berhasil menewaskan sekutu Korawa yang bernama Lembusa.
Namun ia sendiri kehilangan kedua pamannya, yaitu Brajalamadan dan Brajawikalpa
yang tewas bersama musuh-musuh mereka, bernama Lembusura dan Lembusana.
Gatotkaca akhirnya berhadapan dengan
Karna, pemilik senjata Kontawijaya. Ia pun menciptakan kembaran dirinya
sebanyak seribu orang sehingga membuat Karna merasa kebingungan. Atas petunjuk
ayahnya, yaitu Batara Surya, Karna berhasil menemukan Gatotkaca yang asli. Ia
pun melepaskan senjata Konta ke arah Gatotkaca.
Gatotkaca mencoba menghindar dengan
cara terbang setinggi-tingginya. Namun arwah Kalabendana tiba-tiba muncul
menangkap Kontawijaya sambil menyampaikan berita dari kahyangan bahwa ajal
Gatotkaca telah ditetapkan malam itu.
Gatotkaca pasrah terhadap keputusan
dewata. Namun ia berpesan supaya mayatnya masih bisa digunakan untuk membunuh
musuh. Kalabendana setuju. Ia kemudian menusuk pusar Gatotkaca menggunakan
senjata Konta. Pusaka itu pun musnah bersatu dengan sarungnya, yaitu kayu
Mastaba yang masih tersimpan di dalam perut Gatotkaca.
Gatotkaca telah tewas seketika.
Arwah Kalabendana kemudian melemparkan mayatnya ke arah Karna. Karna berhasil
melompat sehingga lolos dari maut. Namun keretanya hancur berkeping-keping
tertimpa tubuh Gatotkaca yang meluncur kencang dari angkasa. Akibatnya, pecahan
kereta tersebut melesat ke segala arah dan menewaskan para prajurit Korawa yang
berada di sekitarnya. Tidak terhitung banyaknya berapa jumlah mereka yang mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar